“Aku Sayang Kamu, Jaga Anak-anak”

Warga mengerumuni reruntuhan pesawat yang terjatuh di Lagos, Nigeria, Minggu (3/6/2012). Pesawat penumpang milik maskapai Dana Air yang mengangkut 153 penumpang dan awak itu terjatuh sebelum mendarat di bandara Lagos, Minggu petang. Otoritas setempat mengatakan, semua penumpang dan awak pesawat tewas, begitu juga belasan orang di dalam bangunan yang tertabrak pesawat tersebut.


Dua hari sebelum nyawanya terenggut dalam kecelakaan pesawat di Lagos, Nigeria, Minggu (3/6/2012), Widio Utomo (38) menelepon istrinya yang sedang hamil dua bulan. ”Aku sayang kamu. Aku sayang keluarga. Sayang anak-anak. Titip jaga anak-anak, ya,” tuturnya.

Sang istri, Nuryati (30), ketika itu hanya mengiyakan. Tidak ada firasat apa-apa, kata Nuryani, karena Widio memang sangat sayang kepada dua putranya, Yusuf (15) dan Yarin (13). Saat ini Nuryati dan anaknya dalam perjalanan dari Banyumas, Jawa Tengah, menuju rumah mertuanya di Bogor.

”Itu percakapan terakhir dengan istrinya. Kepada saya, sebelum berangkat ke Nigeria, 6 Mei lalu, ia juga bilang, ’Mbak, aku titip anak-anak ya’,” ungkap Nuryani (40), kakak ipar Widio, Selasa siang, di rumah orangtua Widio di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Nuryati saat menerima kabar kecelakaan pesawat yang menimpa suaminya, menurut Nuryani, sedang berada di rumahnya di Banyumas.

”Saya sendiri begitu mendengar kabar mengenai Widio, semuanya seperti gelap. Kepergian itu terasa begitu tiba-tiba. Rencananya 15 Juni mendatang ia sudah akan kembali ke Indonesia untuk memantapkan rencana sebelum umrah bersama ibu, kakak, dan adiknya,” tutur Nuryani.

Jauh sebelum bekerja sebagai teknisi pesawat Dana Air di Nigeria tahun 2011, Widio, anak kedua dari tiga bersaudara, sudah berencana membiayai umrah ibu serta kakak dan adiknya. Dari hasil kerjanya, ia sisihkan untuk membiayai umrah mereka. Widio terbilang lebih berhasil ketimbang dua saudaranya yang menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Semua pengurusan umrah, menurut Nuryani, sudah diselesaikan pekan lalu sehingga seharusnya mereka sekeluarga tinggal berangkat umrah Juli mendatang. Namun, manusia hanya bisa berencana. ”Sekarang belum tahu bagaimana (kelanjutan umrah),” kata Nuryani.

Widio sedang bertugas di pesawat Dana Air dari Abuja, ibu kota Nigeria, menuju Lagos, Minggu, ketika pesawat itu jatuh dan menabrak gedung di permukiman padat penduduk di Lagos. Sebanyak 153 penumpang tewas berikut sejumlah warga di permukiman itu.

Menurut The Christian Science Monitor, Senin, kecelakaan ini merupakan kecelakaan terburuk di negara itu sejak September 1992 saat pesawat pengangkut militer hancur tak lama setelah lepas landas dari Lagos hingga menewaskan 163 personel militer dan kru pesawat. Belum diketahui persis penyebab kecelakaan itu, tetapi The Christian Science Monitor dalam artikelnya, ”Nigeria Plane Crash: Was Age of Aircraft an Issue?” menyebutkan, kemungkinan usia pesawat menjadi salah satu penyebab.

”Putra saya teknisi pesawat yang bagus. Sebelum dia memberi jempol (tanda mesin siap), pilot-pilot asing tidak akan menerbangkan pesawat,” tutur Nani, ibunda Widio, yang hanya bisa terduduk lemah saat ditemui di rumahnya.

Dunia dirgantara

Widio terlahir dari pasangan Wardjijanto (63) dan Nani Sukarni (62). Pasangan ini pensiunan PNS di Pangkalan Udara Atang Sendjaja, Bogor. Dua saudara Widio, yakni Priyo Sukmo Wardoyo (42) dan Widiyanto Satriadi (30), juga mengabdi sebagai PNS di Lanud Atang Sendjaja.

Keluarga mereka akrab dengan dunia dirgantara. Putra pertama Widio malah ingin mengikuti jejak sang ayah untuk bisa belajar di SMK Penerbangan Angkasa, Bogor.

Selepas lulus dari SMK Penerbangan Angkasa, Bogor, Widio mewujudkan mimpinya untuk ”terbang”. Ia berpindah-pindah kerja sebagai teknisi dari berbagai maskapai, baik di Indonesia maupun luar negeri. Setahun terakhir ia bekerja untuk Dana Air, maskapai penerbangan domestik di Nigeria. Setelah bekerja di sana, beberapa bulan sekali ia pulang ke Indonesia. Selain menjumpai istri dan dua putranya di Banyumas, ia biasanya juga menyempatkan mampir ke rumah orangtuanya di Kabupaten Bogor.

Pertemuan terakhir Nani dan putranya pada Mei lalu hanya terbilang singkat. Tiga hari. Selama tiga hari itu, Nani juga mengaku tidak berbincang banyak dengan putranya. Tidak seperti biasanya. Karena itu, ia tampak terpukul dengan kepergian Widio yang begitu tiba-tiba.

Nani berusaha tetap tegar meski beberapa kali ia terpaksa mengusap air mata yang mengalir dari kerut kelopak matanya, yang menyiratkan kedukaan mendalam.

Ia ingat beberapa hari setelah putranya berangkat ke Nigeria, ia mendengar jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor. Lebih dari 40 penumpang tewas. Ketika itu, Nani mengaku waswas dan tidak tenang karena pekerjaan putranya juga mengharuskan ia berada di pesawat.

Beberapa kali pula ia kerap terbangun di malam hari, lalu dorongan hatinya begitu besar untuk melihat foto-foto Widio. Namun, Nani mengaku kini telah mengikhlaskan kepergian putranya. Ia hanya berharap jenazah Widio bisa segera tiba di Indonesia untuk dimakamkan.

”Katanya mau tes DNA. Saya sudah mengirimkan potongan kuku dan rambut untuk diuji. Kami tinggal menunggu bagaimana hasilnya,” tutur Nani.

Dia juga berharap Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar Republik Indonesia di Abuja, Nigeria, bisa membantu mempercepat pemulangan jenazah putranya.

sumber : kompas.com

Leave a comment